Senin, 27 Mei 2019

SENGKETA BISNIS


Sengketa merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis. Diingini atau tidak, sengketa sering kali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik, penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien.
Arbitrase merupakan solusi alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh. Putusan arbitrase serupa dengan proses peradilan karena sifatnya juga menang-kalah (win-lose). Namun, proses persidangan arbitrase lebih fleksibel dan tidak sekaku proses peradilan yang ada saat ini yang seluruhnya telah diatur melalui hukum acara yang ada. Untuk itulah, arbitrase sering juga disebut sebagai “peradilan swasta”. Jadi, apa yang dimaksud dengan arbitrase? Undang-undang telah memberikan definisi tentang apa yang dimaksud sebagai arbitrase. Arbirase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, arbitrase mengandung unsur (i) penyelesaian sengketa (ii) di luar peradilan umum (iii) berdasarkan perjanjian tertulis. Unsur perjanjian tertulis merupakan ciri khas penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Tanpa adanya perjanjian tertulis antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Jika sengketa diajukan melalui pengadilan, maka proses yang normal ialah sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama, dapat diajukan banding melalui Pengadilan Tinggi dan diajukan kasasi pada tingkat Mahkamah Agung. Setelah itu, pihak yang bersengketa masih mempunyai upaya hukum berupa peninjauan kembali melalui Mahkamah Agung. Dengan demikian, ada tiga tingkat peradilan yang perlu dilalui sampai para pihak memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan. Dalam prakteknya, waktu yang terbuang untuk keseluruhan proses tersebut bisa memakan waktu 2 – 5 tahun. Berbeda dengan proses peradilan yang ada, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, jika sengketa diselesaikan melalui arbitrase, sengketa yang ada seolah-olah langsung diperiksa dan diputus oleh pengadilan pada tingkat pertama yang juga berfungsi sebagai tingkat terakhir, yang berakibat putusan bersifat final dan langsung dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, berbeda dengan proses peradilan, proses arbitrase sangat efisien, cepat, dan terukur. Selain itu, proses persidangan arbitrase bersifat rahasia. Hal ini berbeda dengan proses peradilan yang terbuka untuk umum.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase saat ini semakin banyak dipilih oleh kalangan pebisnis. Mereka memilih arbitrase karena penyelesaian sengketa jauh lebih cepat, langsung final dan mengikat, serta bersifat rahasia. Ketiga faktor tersebut menjadi alasan utama kalangan pebisnis memilih jalur arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Tentunya, secara langsung, penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga akan mengurangi beban pengadilan di Indonesia terhadap menumpuknya perkara yang belum terselesaikan.

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI DAN BISNIS MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas)

Timbulnya Kasus Pertamina dan Karaha Bodas Compan
Kasus cukup menarik dan menyita perhatian masrakat internasional yaitu kasus antara Pertamina Vs KBC, yang terlihat jelas gesekan kepentingan nyaris berbeda antara keduanya, terlebih perusahaan karaha bodas merupakan perusahaan perseroan yang didirikan berdasarkan aliran-aliran modal baik dari dalam maupun dari luar, dimana tujuan perusahaan ini lebih mengutamakan profit oriented dan sisi lain perusahaan nasional atau Pertamina lebih mengutamakan kepentingan nasional, ini bagaikan api dalam sekam, setiap saat dapat terbakar dan dapat merugikan kedua belah pihak. Dengan adanya kehadiran investasi ke Indonesia otomatis harus tunduk pada semua sistem hukum politik negara tuan rumah, artinya perusahaan harus mematuhi aturan investasi di Indonesia. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi perusahaan trannasional seperti Karaha Bodas Company yang mempunyai saham yang lebih besar atau utuh 100%, sehingga pengambilan kebijakan dipengaruhi oleh pemegang saham terbesar, ini menimbulkan kepentingan negara tuan rumah menjadi perioritas kedua. Sayangnya sampai saat ini aturan hukum internasional yang berlaku umum untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasional belum dibuat, hal ini sudah pasti akan berpotensi muncul konflik antara kedua subjek hukum ini, yaitu antara Pertamina dan Karaha Bodas Company.

Penyelesaian Sengketa
Dari studi kasus Pertamina vs Karaha Bodas dipilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif. 2. Walaupun keputusan badan arbitrase internasional sudah ditetapkan, tetapi Pertamina telah menolak untuk membayar kewajiban legalnya. Dalam merespon ini KBC melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa di Pengadilan beberapa negara dimana aset dan barang Pertamina berada. 3. Seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU Nomor 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law.

Sabtu, 25 Mei 2019

SUKUK NEGARA


Oleh: Republika.co.id

Perbedaan Sukuk dengan Obligasi adalah, Obligasi merupakan surat berharga yang berupa pernyataan utang dari penerbit kepada investor. Sedangkan sukuk merupakan surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah yang merepresentasikan kepemilikan investor atas asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk (underlying asset).
Sukuk Negara merupakan sumber pembiayaan APBN yang penting. Saat ini, outstanding Sukuk Negara sekitar 18 persen dari total outstanding Surat Berharga Negara (SBN). Dalam tiga tahun anggaran terakhir, penerbitan Sukuk Negara berada di kisaran 27-30 persen dari total penerbitan SBN dalam rangka pembiayaan APBN. Sejalan dengan karakteristik keuangan syariah yang mengharuskan keterkaitan langsung antara instrumen keuangan dan sektor riil, pembiayaan APBN melalui Sukuk Negara ini mendukung pembiayaan APBN yang produktif. Sebagian besar penerbitan Sukuk Negara dalam bentuk Project-based Sukuk(PBS), di mana dasar penerbitan Sukuk Negara ini adalah proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Sukuk Negara menjadi instrumen penting dalam inklusi keuangan. Melalui berbagai varian Sukuk Negara Ritel, Sukuk Negara menjadi instrumen investasi berbasis syariah penting bagi masyarakat. Melalui 10 seri Sukuk Ritel (Sukri) dan satu seri Sukuk Tabungan (ST), telah diterbitkan sekitar Rp 147 triliun Sukuk Negara Ritel yang diperuntukkan bagi investor perorangan, dan sudah dibeli sekitar 255 ribu orang. Sukuk Negara Ritel efektif dalam mentransformasi masyarakat, dari saving oriented society menjadi investment oriented society. Melalui Sukuk Negara Ritel berbasis syariah, yang diterbitkan pemerintah dan memiliki imbalan kompetitif, masyarakat memiliki insentif untuk berinvestasi pada produk pasar modal sekaligus belajar berbagai instrumen investasi di pasar modal.
Sukuk Negara menjadi instrumen penting dalam mendorong perkembangan industri keuangan syariah di Tanah Air, baik perbankan syariah, IKNB syariah, maupun pasar modal syariah. Sukuk Negara merupakan instrumen investasi dan pengelolaan likuiditas yang penting bagi industri keuangan syariah. Sukuk Negara juga menjadi acuan bagi korporasi dalam menerbitkan sukuk korporasi. Melalui sinergi antarinstrumen dan industri, industri keuangan syariah berkembang cukup baik. Merujuk data OJK, per 31 Agustus 2018, total aset perbankan syariah yang terdiri atas 13 bank umum syariah, 21 unit usaha syariah, dan 168 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mencapai Rp 445,24 triliun atau 5,72 persen dari total aset perbankan nasional.
Total aset IKNB Syariah (asuransi, pembiayaan, penjaminan syariah) Rp 99,96 triliun atau 4,36 persen dari total aset IKNB nasional. Total dana kelolaan reksa dana syariah Rp 31,13 triliun atau 6,31 persen dari total dana kelolaan reksa dana nasional. Outstanding sukuk korporasi sebesar Rp 17,34 triliun atau 4,15 persen dari total outstanding obligasi korporasi. Sedangkan saham syariah dari 395 emiten, mencapai Rp 3.555 triliun atau 52,41 persen dari total kapitalisasi pasar saham. Dengan perkembangan ini, Global Islamic Finance Report 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat keenam dalam Islamic Finance Country Index 2018, setelah Malaysia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Menurut Laporan ini, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk mengembangkan keuangan syariah lebih lanjut. Antara lain didukung jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, bonus demografi dan kelas menengah yang besar, ekonomi terbesar di antara negara Muslim, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan penetrasi keuangan syariah yang masih relatif rendah.
Sukuk Negara mendukung stabilitas pasar keuangan. Sekitar 95 persen Sukuk Negara dalam denominasi rupiah dipegang investor domestik, baik investor institusi maupun perorangan. Di tengah situasi peranan investor asing di pasar saham ataupun pasar obligasi domestik yang sangat tinggi serta rentan pembalikan arus modal, daya dukung investor domestik terhadap Sukuk Negara membantu stabilitas pasar keuangan. Perilaku investor syariah yang cenderung prudent dan tidak spekulatif juga sangat mendukung. Stabilitas pasar Sukuk Negara ini, antara lain, dapat diamati pada volatilitas yield Sukuk Negara yang lebih rendah dibandingkan pasar obligasi.
Sukuk Negara tidak saja mendukung pengembangan keuangan syariah di Tanah Air, tetapi juga menjadi katalis keuangan syariah di tataran global. Melalui penerbitan Sukuk Negara Global dalam denominasi dolar AS secara reguler, Sukuk Negara telah menjadi instrumen investasi dan pengelolaan likuiditas yang penting bagi industri keuangan syariah global. Sukuk Negara Global yang diterbitkan Indonesia mendapatkan sambutan luar biasa dari investor global. Ini didukung beberapa faktor, yakni inovasi instrumen yang menjadi global trend setter, baik terkait struktur syariah maupun tema Inovasi terakhir adalah penerbitan Green Global Sukuk sebesar 1,25 miliar dolar AS pada Maret 2018, yang merupakan penerbitan green sukuk oleh pemerintah pertama di dunia. Hasil penerbitan Green Global Sukuk ini digunakan untuk membiayai proyek yang memenuhi kriteria hijau, seperti energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, pengelolaan limbah, pertanian berkelanjutan, pariwisata hijau, dan bangunan hijau. Faktor lainnya, Indonesia menerbitkan Sukuk Negara Global secara reguler sehingga mendukung likuiditas pasar. Fatwa dan opini kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional MUI dapat diterima secara global, serta kinerja dan prospek ekonomi Indonesia yang sangat baik.
Sukuk Negara juga dapat menjadi integrator antara keuangan komersial syariah dan keuangan sosial syariah, seperti wakaf dan zakat. Ini terlihat dari inisiatif terkini, yaitu Waqf linked Sukuk. Melalui Waqf linked Sukuk ini, wakaf tunai (khususnya wakaf tunai sementara untuk periode tertentu) yang dikumpulkan para nazir dan selanjutnya dikoordinasikan BWI, diinvestasikan pada Sukuk Negara untuk periode (tenor) tertentu. Imbal balik hasil dari Sukuk Negara ini (yang dibayarkan pemerintah) diwakafkan untuk membangun madrasah, balai kesehatan atau rumah sakit, pemberdayaan ekonomi umat, pemulihan daerah bencana, dan kegiatan lain sesuai syariat. Adapun dana pokok akan kembali 100 persen kepada wakif saat jatuh tempo. Melalui Waqf linked Sukuk, diharapkan sektor keuangan sosial syariah, khususnya wakaf, berkembang lebih cepat dan besar. Pemerintah berkomitmen kuat mengembangkan keuangan syariah. Pemerintah melalui Sekretariat Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saat ini tengah menyiapkan road map Keuangan Syariah. Ini diharapkan memberikan peta jalan lebih komprehensif dan sistematis dalam mengembangkan keuangan syariah. Kisah sukses Sukuk Negara semoga menginspirasi dan menjadi katalis kisah sukses instrumen dan sektor keuangan syariah yang lain.

Senin, 13 Mei 2019

Perusahaan Jamu Nyonya Meneer Dinyatakan Pailit

Perusahaan jamu PT Nyonya Meneer dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang karena tidak sanggup membayar utang. Gabungan Pengusaha Jamu menyampaikan keprihatinan atas keputusan pengadilan tersebut.

Kepailitan Nyonya Meneer dinilai tidak akan berdampak buruk bagi industri jamu nasional lainnya. Seseorang berpendapat bahwa ia yakin Nyonya Meneer akan kembali berproduksi, karena merupakan salah satu perusahaan legendaris di Indonesia. 


Pada 8 Juni 2015 Pengadilan Negeri Semarang sempat mengesahkan proposal perdamaian yang diajukan pabrik jamu legendaris PT Nyonya Meneer untuk membayar utang terhadap semua kreditornya. Proposal itu disahkan dalam persidangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam amar putusannya, majelis hakim yang dipimpin hakim Dwiarso Budi Santiarto saat itu meneruskan upaya yang dilakukan para pihak, baik debitor, kreditor, tim pengurus, maupun hakim pengawas. Para pihak saat itu bersepakat terkait kewajiban utang yang harus dibayarkan debitor yakni PT Nyonya Meneer kepada 35 kreditor. 

Pihak PT Nyonya Meneer pun berkewajiban untuk membayar seluruh utang yang telah diajukan. Hingga gugatan pailit diajukan oleh salah satu kreditor asal Kabupaten Sukoharjo yang bernama Hendrianto Bambang Santoso dan dikabulkan oleh PN Semarang pada Kamis (3/8/2017). 

Nyonya Meneer dinyatakan pailit dalam persidangan yang dipimpin hakim Nani Indrawati dalam amar putusan perkara permohonan pembatalan perdamaian antara perusahaan dan kreditur tersebut. Perusahaan jamu legendaris itu dinyatakan pailit karena terbukti tidak sanggup membayar utang. 

sumber: tirto.id