Rabu, 19 Juni 2019

Ujian Akhir Semester (UAS) Hukum dan Etika Bisnis (HEB)


Nama           : Dinda Kirana
NIM             : 170321100054
Mata Kuliah : Hukum dan Etika Bisnis (HEB)

KASUS 1
PT. Duniatex terbukti bersalah karena melanggar Pasal 72 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu PT. Duniatex telah secara sengaja dan tanpa hak memproduksi dan memperbanyak kain grey rayon dengan kode garis kuning di sepanjang tepi kain. Sebagai pencipta PT. Sritex berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain tanpa seizinnya untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak  mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan yang dilakukan PT. Duniatex dengan telah memproduksi kain yang menggunakan kode benang kuning, sudah pasti telah melanggar ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dapat disimpulkan bahwa PT. Duniatex telah bersalah dan dapat dikenakan Pasal 72 ayat (1) tentang ketentuan pidana, yaitu Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jadi, hukuman yang dijatuhkan kepada Jau Tau Kwan memang sudah sepantasnya.

KASUS 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 telah menggariskan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, seperti penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Selain menetapkan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 juga menetapkan sanksi pidana denda dan penjara/kurungan bagi para pelaku dengan jumlah atau waktu yang bervariasi. Tindak pidana dibidang pasar modal memiliki karekteristik yang khas, yaitu barang yang menjadi obyek adalah informasi, selain itu pelaku tindak pidana tidak mengandalkan kemampuan fisik, tetapi kemampuan untuk memahami dan membaca situasi pasar untuk kepentingan pribadi. Pembuktian tindak pidana pasar modal juga sangat sulit, namun akibat yang ditimbulkan dapat fatal dan luas. Dilihat dari hukum undang-undang yang dilanggar oleh PT Sarijaya Permana Sekuritas, maka akan lebih mengarah ke kejahatan pasar modal yang berupa penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 90 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1995 yang isinya, atara lain :
Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek. Namun seperti kita ketahui dalam sistem pembuktian pidana maka suatu kejahatan atau tindak pidana dapat terbukti jika memenuhi unsur-unsur pidana, selain itu mengingat jika dikaji maka pasal ini merupakan delik materiil maka perlu untuk dijelaskan unsur-unsur pidana yang terkandung dalam pasal 90 tersebut.

KASUS 4
Tindakan kartel penetapan harga yang dilakukan oleh Yamaha dan Honda telah melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kartel (cartel) sendiri termasuk dalam salah satu bentuk perjanjian yang dilarang, hal ini tertuang dalam pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Pidana pokok yang terkait dengan kartel terdapat dalam pasal 48 ayat (1), yaitu: 1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan.
KPPU dalam melakukan pertimbangan terhadap Putusan No.04/KPPU-I/2016 menggunakan indirect evidence, berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Penggunaan indirect evidence pada perkara kartel sepeda motor ini dinilai sudah tepat mengingat hadirnya otoritas persaingan usaha sebagai lembaga yang diperhitungkan, maka pelaku usaha sebisa mungkin meminimalisir adanya perjanjian atau hard evidence. Namun yang terjadi saat ini di Indonesia, indirect evidence masih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk menegakkan persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha dalam dunia bisnis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keberadaan indirect evidence perlu diperhitungkan dalam penyelesaian perkara kartel di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar