Nama : Dinda Kirana
NIM : 170321100054
Mata Kuliah : Hukum dan Etika Bisnis (HEB)
KASUS 1
PT. Duniatex
terbukti bersalah karena melanggar Pasal 72 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta, yaitu PT. Duniatex telah secara sengaja dan tanpa hak
memproduksi dan memperbanyak kain grey rayon dengan kode garis kuning di
sepanjang tepi kain. Sebagai pencipta PT. Sritex berdasarkan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak
lain tanpa seizinnya untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan yang dilakukan PT.
Duniatex dengan telah memproduksi kain yang menggunakan kode benang kuning,
sudah pasti telah melanggar ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002. Dapat disimpulkan bahwa PT. Duniatex telah bersalah dan dapat dikenakan
Pasal 72 ayat (1) tentang ketentuan pidana, yaitu Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1
atau pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jadi, hukuman
yang dijatuhkan kepada Jau Tau Kwan memang sudah sepantasnya.
KASUS
2
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 telah menggariskan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar
modal, seperti penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Selain
menetapkan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 juga menetapkan sanksi pidana denda dan penjara/kurungan bagi para
pelaku dengan jumlah atau waktu yang bervariasi. Tindak pidana dibidang pasar
modal memiliki karekteristik yang khas, yaitu barang yang menjadi obyek adalah
informasi, selain itu pelaku tindak pidana tidak mengandalkan kemampuan fisik,
tetapi kemampuan untuk memahami dan membaca situasi pasar untuk kepentingan
pribadi. Pembuktian tindak pidana pasar modal juga sangat sulit, namun akibat
yang ditimbulkan dapat fatal dan luas. Dilihat dari hukum undang-undang yang
dilanggar oleh PT Sarijaya Permana Sekuritas, maka akan lebih mengarah ke
kejahatan pasar modal yang berupa penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 90
Undang-Undang nomor 8 Tahun 1995 yang isinya, atara lain :
Dalam
kegiatan perdagangan Efek, setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak
langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain
dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau
mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar
mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar
pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada
saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan
kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi
Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek. Namun seperti kita ketahui
dalam sistem pembuktian pidana maka suatu kejahatan atau tindak pidana dapat
terbukti jika memenuhi unsur-unsur pidana, selain itu mengingat jika dikaji
maka pasal ini merupakan delik materiil maka perlu untuk dijelaskan unsur-unsur
pidana yang terkandung dalam pasal 90 tersebut.
KASUS
4
Tindakan
kartel penetapan harga yang dilakukan oleh Yamaha dan Honda telah melanggar
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kartel (cartel) sendiri termasuk
dalam salah satu bentuk perjanjian yang dilarang, hal ini tertuang dalam pasal
11 UU No. 5 tahun 1999 yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.” Pidana pokok yang terkait dengan kartel terdapat dalam pasal 48
ayat (1), yaitu: 1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai
dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal
28 diancam pidana denda serendah rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan.
KPPU
dalam melakukan pertimbangan terhadap Putusan No.04/KPPU-I/2016 menggunakan
indirect evidence, berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Penggunaan
indirect evidence pada perkara kartel sepeda motor ini dinilai sudah tepat
mengingat hadirnya otoritas persaingan usaha sebagai lembaga yang
diperhitungkan, maka pelaku usaha sebisa mungkin meminimalisir adanya
perjanjian atau hard evidence. Namun yang terjadi saat ini di Indonesia, indirect
evidence masih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk
menegakkan persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha dalam dunia bisnis
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keberadaan indirect evidence perlu
diperhitungkan dalam penyelesaian perkara kartel di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar